Lima bulan sudah aku bekerja sebagai seorang pembantu rumahtangga di keluarga Pak Alex, Aku memang bukan seorang yang makan ilmu bertumpuk, hanya lulusan SD saja di kampungku. Tetapi karena niatku untuk bekerja memang sudah tidak bisa ditahan lagi, akhirnya aku pergi ke kota jakarta, dan beruntung bisa memperoleh majikan yang baik dan bisa memperhatikan kesejahteraanku.
Ibu Alex pernah berkata kepadaku bahwa beliau menerimaku menjadi pembantu rumahtangga dirumahnya lantaran usiaku yang relatif masih muda. Beliau tak tega melihatku luntang-lantung di kota besar ini. “Jangan-jangan kamu nanti malah dijadikan wan*ta pangg*lan oleh para calo WTS yang tidak bertanggung jawab.” Itulah yang diucapkan beliau kepadaku.
Usiaku memang masih 18 tahun dan terkadang aku sadar bahwa aku memang lumayan cantik, berbeda dengan para gadis desa di kampungku. Pantas saja jika Ibu Alex berkata begitu terhadapku. Namun akhir-akhir ini ada sesuatu yang mengganggu pikiranku, yakni tentang perlakuan anak majikanku Mas Rizky terhadapku.
Mas Rizky adalah anak bungsu keluarga Bapak Alex. Dia masih kuliah di semester 4, sedangkan kedua kakaknya telah berkeluarga. Mas Rizky baik dan sopan terhadapku, hingga aku jadi aga segan bila berada di dekatnya. Sepertinya ada sesuatu yang bergetar di hatiku.
Jika aku ke pasar, Mas Rizky tak segan untuk mengantarkanku. Bahkan ketika naik mobil aku tidak diperbolehkan duduk di jok belakang, harus di sampingnya. Ahh.. Aku selalu jadi merasa tak Enak. Pernah suatu malam sekitar pukul 20.00, Mas Rizky hendak membikin mie instan di dapur,
Aku bergegas mengambil alih dengan alasan bahwa yang dilakukannya pada dasarnya adalah tugas dan kewajibanku untuk bisa mel*yani majikanku. Tetapi yang terjadi Mas Rizky justru berkata kepadaku,
“Nggak usah, Wenny. Biar aku saja, ngga apa-apa kok..”
“Nggak.. nggak apa-apa kok, Mas”, jawabku tersipu sembari menyalakan kompor gas.
Tiba-tiba Mas Rizky menyentuh pundakku. Dengan lir*h dia berucap,
“Kamu sudah capek seharian bekerja, Wenny. Tidurlah, besok kamu harus bangun khan..”
Aku hanya tertunduk tanpa bisa berbuat apa-apa. Mas Rizky kemudian melanjutkan memasak. Namun aku tetap termangu di sudut dapur. Hingga kembali Mas Rizky menegurku.
“Wenny, kenapa belum masuk ke kamarmu. Nanti kalau kamu kecapekan dan terus sakit, yang repot kan kita juga. Sudahlah, aku bisa masak sendiri kalau hanya sekedar bikin mie seperti ini.”
Belum juga habis ingatanku saat kami berdua sedang nonton televisi di ruang tengah, sedangkan Bapak dan Ibu Alex sedang tidak berada di rumah. Entah kenapa tiba-tiba Mas Rizky memandangiku dengan lembut. Pandangannya membuatku jadi salah tingkah.
“Kamu cantik, Wenny.”
Aku cuma tersipu dan berucap,
“Teman-teman Mas Rizky di kampus kan lebih cantik-cantik, apalagi mereka kan orang-orang kaya dan pandai.”
“Tapi kamu lain, Wenny. Pernah tidak kamu membayangkan jika suatu saat ada anak majikan mencintai pembantu rumahtangga-nya sendiri?”
“Ah.. Mas Rizky ini ada-ada saja. Mana ada cerita seperti itu”, jawabku.
“Kalau kenyataannya ada, bagaimana?”
“Iya.. nggak tahu deh, Mas.”
Kata-katanya itu yang hingga saat ini membuatku selalu gel*sah.
Apa benar yang dikatakan oleh Mas Rizky bahwa ia mencintaiku? Bukankah dia anak majikanku yang tentunya orang kaya dan terhormat, sedangkan aku cuma seorang pembantu rumahtangga? Ah, pertanyaan itu selalu terngiang di benakku. Tibalah aku memasuki bulan ke tujuh masa kerjaku. Sore ini cuaca memang sedang hujan meski tak seberapa lebat.
Mobil Mas Rizky memasuki garasi. Kulihat pemuda ini berlari menuju teras rumah. Aku bergegas menghampirinya dengan membawa handuk untuk menyeka tubuhnya.
“Bapak belum pulang?” tanyanya padaku.
“Belum, Mas.”
“Ibu.. pergi..?”
“Ke rumah Bude Mami, begitu ibu bilang.”
Mas Rizky yang sedang duduk di sofa ruang tengah kulihat masih tak berhenti menyeka kepalanya sembari membuka bajunya yang rada basah. Aku yang telah menyiapkan segelas kopi susu panas menghampirinya. Saat aku hampir meninggalkan ruang tengah, kudengar Mas Rizky memanggilku. Kembali aku menghampirinya.
“Kamu tiba-tiba membikinkan aku minuman hangat, padahal aku tidak menyuruhmu kan”, ucap Mas Rizky sembari bangkit dari tempat duduknya.
“Wenny, aku mau bilang bahwa aku menyukaimu.”
“Maksud Mas Apa bagaimana?”
“Apa aku perlu jelaskan?” sahut Mas Rizky padaku.
Tanpa sadar aku kini berhadap-hadapan dengan Mas Rizky dengan jarak yang sangat dekat, bahkan bisa dikatakan terlampau dekat. Mas Rizky meraih kedua tanganku untuk digenggamnya, dengan sedikit tarikan yang dilakukannya maka tubuhku telah dalam posisi sedikit terangkat merapat di tubuhnya.
Sudah pasti dan otomatis pula aku semakin dapat men*kmati wajah ganteng yang rada basah akibat guyuran hujan tadi. Demikian pula Mas Rizky yang semakin dapat pula men*kmati wajah bulatku yang dihiasi bundarnya bola mataku dan mungilnya hidungku.
Kami berdua tak bisa berkata-kata lagi, hanya saling melempar pandang dengan dalam tanpa tahu rasa masing-masing dalam hati. Tiba-tiba entah karena dorongan rasa yang seperti apa dan bagaimana bib*r Mas Rizky menc*umi setiap lekuk mukaku yang segera setelah sampai pada bagian bib*rku, aku membalas pag*tan c*umannya.
Kurasakan tangan Mas Rizky merambah naik ke arah d*daku, pada bagian gumpalan d*daku tangannya mer*mas lembut yang membuatku tanpa sadar mend*sah dan bahkan menjerit lembut. Sampai disini begitu campur aduk perasaanku, aku merasakan n*kmat yang berlebih tapi pada bagian lain aku merasakan takut yang entah bagaimana aku harus melawannya.
Namun campuran rasa yang demikian ini segera terhapus oleh rasa n*kmat yang mulai bisa men*kmatinya, aku terus mel*yani dan membalas setiap c*uman bib*rnya yang di arahkan pada bib*rku berikut setiap lekuk yang ada di bagian d*daku. Aku semakin tak kuat menahan rasa, aku menggel*njang kecil menahan desakan dan gelora yang semakin memanas.
Ia mulai melepas satu demi satu kancing baju yang kukenakan, sampailah aku t*lanj*ng d*da hingga buah d*da yang begitu ranum menonjol dan memperlihatkan diri pada Mas Rizky. Semakin saja Mas Rizky memainkan bib*rnya pada ujung buah d*daku, dik*l*mnya, dic*uminya, bahkan ia menggigitnya.
G*lak dan getaran yang tak pernah kurasa sebelumnya, aku kini melayang, terbang, aku ingin men*kmati langkah berikutnya, aku merasakan sebuah ken*kmatan tanpa batas untuk saat ini. Aku telah mencoba untuk memerangi gejolak yang meletup bak gunung yang akan memuntahkan isi kawahnya.
Namun suara hujan yang kian menderas, serta situasi rumah yang hanya tinggal kami berdua, serta bisik goda yang aku tak tahu darimana datangnya, kesemua itu membuat kami berdua semakin larut dalam permainan cinta ini. Pag*tan dan rab*an Mas Rizky ke seluruh tubuhku, membuatku pasrah dalam r*ntihan ken*kmatan yang kurasakan.
Tangan Mas Rizky mulai mereteli pakaian yang dikenakan, iapun t*lanj*ng bulat kini. Aku tak tahan lagi, segera ia menarik dengan keras cel*na d*lam yang kukenakan. Tangannya terus saja mengg*ray*ngi sekujur tubuhku. Kemudian pada saat tertentu tangannya membimbing tanganku untuk menuju tempat yang diharapkan, dibagian bawah tubuhnya. Mas Rizky terdengar mer*ntih.
Buah d*daku yang mungil dan padat tak pernah lepas dari r*masan tangan Mas Rizky. Sementara tubuhku yang telah t*l*ntang di bawah tubuh Mas Rizky mengg*liat-l*at seperti cacing kepanasan. Hingga leng*han di antara kami mulai terdengar sebagai tanda permainan ini telah usai.
Keringat ada di sana-sini sementara pakaian kami terlihat berserakan dimana-mana. Ruang tengah ini menjadi begitu berantakan terlebih sofa tempat kami bermain c*nta denga penuh gej*lak. Ketika senja mulai datang, usailah pertempuran n*fsuku dengan n*fsu Mas Rizky.
Kami duduk di sofa, tempat kami tadi melakukan sebuah permainan cinta, dengan rasa sesal yang masing-masing berkecamuk dalam hati.
“Aku tidak akan mempermainkan kamu, Wenny. Aku lakukan ini karena aku mencintai kamu. Aku sungguh-sungguh, Wenny. Kamu mau mencintaiku kan..?”
Aku terdiam tak mampu menjawab sepatah katapun. Mas Rizky menyeka butiran air bening di sudut mataku, lalu menc*um pipiku. Seolah dia menyatakan bahwa hasr*t hatinya padaku adalah kejujuran cintanya, dan akan mampu membuatku yakin akan ketulusannya.
Meski aku tetap bertanya dalam sesalku, “Mungkinkah Mas Rizky akan sanggup menikahiku yang hanya seorang pembantu rumah tangga?”
Sekitar pukul 19.30 malam, barulah rumah ini tak berbeda dengan waktu-waktu kemarin. Bapak dan Ibu Alex seperti biasanya tengah men*kmati tayangan acara televisi, dan Mas Rizky mendekam di kamarnya.
Yah, seolah tak ada peristiwa apa-apa yang pernah terjadi di ruang tengah itu. Sejak permainan cinta yang penuh n*fsu itu kulakukan dengan Mas Rizky, waktu yang berjalan pun tak terasa telah memaksa kami untuk terus bisa mengulangi lagi n*kmat dan indahnya permainan cinta tersebut.
Dan yang pasti aku menjadi seorang yang harus bisa menuruti kemauan n*fsu yang ada dalam diri. Tak peduli lagi siang atau malam, di sofa ataupun di dapur, asalkan keadaan rumah lagi sepi, kami selalu tenggelam hanyut dalam permainan cinta denga gej*lak n*fsu b*rah*.
Selalu saja setiap kali aku membayangkan sebuah g*ya dalam permainan cinta, tiba-tiba n*fsuku bergej*lak ingin segera saja rasanya melakukan gaya yang sedang melintas dalam benakku tersebut. Kadang aku pun melakukannya sendiri di kamar dengan membayangkan wajah Mas Rizky.
Bahkan ketika di rumah sedang ada Ibu Alex namun tiba-tiba n*fsuku bergejolak, aku masuk kamar mandi dan memberi isyarat pada Mas Rizky untuk menyusulnya. Untung kamar mandi bagi pembantu di keluarga ini letaknya ada di belakang jauh dari jangkauan tuan rumah.
Aku melakukannya di sana dengan penuh gej*lak di bawah guyuran air mandi, dengan lumuran busa sabun di sana-sini yang rasanya membuatku semakin saja men*kmati sebuah rasa tanpa batas tentang ken*kmatan. Walau setiap kali usai melakukan hal itu dengan Mas Rizky, aku selalu dihantui oleh sebuah pertanyaan yang itu-itu lagi dan dengan mudah mengusik benakku:
“Bagaimana jika aku h*mil nanti? Bagaimana jika Mas Rizky malu mengakuinya,
apakah keluarga Bapak Alex mau merestui kami berdua untuk menikah sekaligus sudi menerimaku sebagai menantu?
Ataukah aku bakal di usir dari rumah ini?
Atau juga pasti aku disuruh untuk mengg*gurkan kand*ngan ini?” Ah.. pertanyaan ini benar-benar membuatku seolah g*la dan ingin menjerit sekeras mungkin. Apalagi Mas Rizky selama ini hanya berucap: “Aku mencintaimu, Wenny.” Seribu juta kalipun kata itu terlontar dari mulut Mas Rizky, tidak akan berarti apa-apa jika Mas Rizky tetap diam tak berterus terang dengan keluarganya atas apa yang telah terjadi dengan kami berdua.
Akhirnya terjadilah apa yang selama ini kutakutkan, bahwa aku mulai sering mual dan muntah, yah.. aku hamil! Mas Rizky mulai gugup dan panik atas kejadian ini.
“Kenapa kamu bisa hamil sih?” Aku hanya diam tak menjawab.
“Bukankah aku sudah memberimu pil supaya kamu nggak hamil. Kalau begini kita yang repot juga..”
“Kenapa mesti repot Mas? Bukankah Mas Rizky sudah berjanji akan menikahi Wenny?”
“Iya.. iya.. tapi tidak secepat ini Wenny. Aku masih mencintaimu, dan aku pasti akan menikahimu, Tetapi bukan sekarang. Aku butuh waktu yang tepat untuk bicara dengan Bapak dan Ibu bahwa aku mencintaimu..”
Yah.. setiap kali aku mengeluh soal perutku yang kian bertambah usianya dari hari ke hari dan berganti dengan minggu, Mas Rizky selalu kebingungan sendiri dan tak pernah mendapatkan jalan keluar. Aku jadi semakin terpojok oleh kondisi dalam r*him yang tentunya kian membesar.
Genap pada usia tiga bulan keh*milanku, keteguhkan hatiku untuk melangkahkan kaki pergi dari rumah keluarga Bapak Alex. Kutinggalkan semua kenangan duka maupun suka yang selama ini kuperoleh di rumah ini. Aku tidak akan menyalahkan Mas Rizky. Ini semua salahku yang tak mampu menjaga kekuatan dinding imanku.
Subuh pagi ini aku meninggalkan rumah ini tanpa pamit, setelah kusiapkan sarapan dan sepucuk surat di meja makan yang isinya bahwa aku pergi karena merasa bersalah terhadap keluarga Bapak Alex. Hampir setahun setelah kepergianku dari keluarga Bapak Alex, Aku kini telah men*kmati kehidupanku sendiri yang tak selayaknya aku jalani, namun aku bahagia.
Hingga pada suatu pagi aku membaca surat pembaca di Tabloid terkenal. Surat itu isinya bahwa seorang pemuda Rizky mencari dan mengharapkan isterinya yang bernama Wenny untuk segera pulang. Pemuda itu tampak sekali berharap bisa bertemu lagi dengan si calon isterinya karena dia begitu mencintainya.
Aku tahu dan mengerti benar siapa calon isterinya. Namun aku sudah tidak ingin lagi dan pula aku tidak pantas untuk berada di rumah itu lagi, rumah tempat tinggal pemuda bernama Rizky itu. Aku sudah tenggelam dalam kubangan ini.
Andai saja Mas Rizky suka pergi ke lok*lis*si, tentu dia tidak perlu harus menulis surat pembaca itu. Mas Rizky pasti akan menemukan calon istrinya yang sangat dicintainya. Agar Mas Rizky pun mengerti bahwa hingga kini aku masih merindukan kehangatan cintanya. Cinta yang pertama dan terakhir bagiku.